Jumat, 05 Agustus 2016

AJARAN R.M.P SOSTRO KARTONO



AJARAN R.M.P SOSRO KARTONO


Raden Mas Panji Sosrokartono lahir di Mayong pada hari Rabu Pahing tanggal 10 April 1877 M. Beliau adalah putera R.M. Adipati Ario Sosroningrat, bupati Jepara. Semenjak kecil beliau sudah mempunyai keistimewaan, beliau cerdas dan mempunyai kemampuan membaca masa depan.

Kakak dari ibu kita Kartini ini, setelah tamat dari Eropesche Lagere School di Jepara, melanjutkan pendidikannya ke H.B.S. di Semarang. Pada tahun 1898 meneruskan sekolahnya ke negeri Belanda.

Mula-mula masuk di sekolah Teknik Tinggi di Leiden, tetapi merasa tidak cocok, sehingga pindah ke Jurusan Bahasa dan Kesusastraan Timur. Beliau merupakan mahasiswa Indonesia pertama yang meneruskan pendidikan ke negeri Belanda, yang pada urutannya disusul oleh putera-putera Indonesia lainnya.

Dengan menggenggam gelar Docterandus in de Oostersche Talen dari Perguruan Tinggi Leiden, beliau mengembara ke seluruh Eropa, menjelajahi pelbagai pekerjaan. Selama perang dunia ke I, beliau bekerja sebagai wartawan perang pada Koran New York Herald dan New York Herald Tribune.

Kemudian, setelah perang usai, beliau menjadi penerjemah di Wina, tapi beliau pindah lagi, bekerja sebagai ahli bahasa pada kedutaan Perancis di Den Haag, dan akhirnya beliau hijrah ke Jenewa. Sebagai sarjana yang menguasai 26 bahasa, beliau bekerja sebagai penerjemah untuk kepentingan Perserikatan Bangsa-Bangsa di Jenewa.

Sampai suatu ketika terdengar berita tentang sakitnya seorang anak berumur ± 12 tahun. Anak itu adalah anak dari kenalannya yang menderita sakit keras, yang tak kunjung sembuh meki sudah diobati oleh beberapa dokter.

Dengan dorongan hati yang penuh dengan cinta kasih dan hasrat yang besar untuk meringankan penderitaan orang lain, saat itu juga beliau menjenguk anak kenalannya yang sakit parah itu.

Sesampainya di sana, beliau langsung meletakkan tangannya di atas dahi anak itu dan terjadilah sebuah keajaiban. Tiba-tiba si bocah yang sakit itu mulai membaik dengan hitungan detik, dan hari itu juga ia pun sembuh.

Kejadian itu membuat orang-orang yang tengah hadir di sana terheran-heran, termasuk juga dokter-dokter yang telah gagal menyembuhkan penyakit anak itu. Setelah itu, ada seorang ahli Psychiatrie dan Hypnose yang menjelaskan bahwa sebenarnya Drs. R.M.P. Sosrokartono mempunyai daya pesoonalijke magneetisme yang besar sekali yang tak disadari olehnya.

Mendengar penjelasan tersebut, akhirnya beliau merenungkan dirinya dan memutuskan menghentikan pekerjaannya di Jenewa dan pergi ke Paris untuk belajar Psychometrie dan Psychotecniek di sebuah perguruan tinggi di kota itu.

Akan tetapi, karena beliau adalah lulusan Bahasa dan Sastra, maka di sana beliau hanya diterima sebagai toehoorder saja, sebab di Perguruan Tinggi tersebut secara khusus hanya disediakan untuk mahasiswa-mahasiswa lulusan medisch dokter.

Beliau kecewa, karena di sana beliau hanya dapat mengikuti mata kuliah yang sangat terbatas, tidak sesuai dengan harapan beliau. Di sela-sela hati yang digendam kecewa, datanglah ilham untuk kembali saja ke tanah airnya.

Di tanah airnyalah beliau harus mencurahkan segenap tenaga dan pikiran untuk mengabdikan diri kepada rakyat Indonesia. Sesampainya di indonesia, beliau bertempat tinggal di Bandung, beliau menjadi sang penolong sesama manusia yang menderita sakit jasmani maupun rohani.

Di Bandung, di Dar-Oes-Salam-lah beliau mulai mengabdikan dirinya untuk kepentingan umat. Beliau terkenal sebagai seorang paranormal yang cendekiawan di mana saja, bahkan beliau pernah mendapat undangan Sultan Sumatera, Langkat. Di daerah sanalah beliau mulai menampakkan kepribadiannya secara pasti, karena di sebuah kerajaan beliau masih menunjukkan tradisi Jawanya, kerendah-hatiannya, kesederhanaannya, tidak mau menikmati kemewahan, bahkan dalam beberapa hari di tiap harinya beliau hanya makan dua buah cabe atau sebuah pisang.Beliau tidak menikah, tidak punya murid dan wakil.

Pada hari Jum’at Pahing, tanggal 8 februari 1952 di rumah Jl. Pungkur No. 19 Bandung, yang terkenal dengan sebutan Dar-Oes-Salam, Drs. R.M.P. Sosrokartono kembali ke Sang Pencipta dengan tenang, tentram.

Guru Sejati

"Murid,gurune pribadi,Guru,muride pribadi,Pamulangane,sangsarane sesami ,Ganjarane,ayu lan arume sesami "

Artinya, “Murid gurunya diri pribadi. Guru, muridnya diri pribadi. Tempat belajarnya/pelajarannya, penderitaan sesama. Balasannya, kebaikan dan keharuman sesama.”

Untaian itu mengandung pengertian bahwa sesungguhnya dalam diri seseorang terdapat seorang guru dan diri seseorang itu sendiri menjadi murid, murid dari guru sejati.

Sebab, pada intinya, segala bentuk ilmu dan pengetahuan itu hanya datang dari Tuhan, karena guru selain Tuhan itu hanya sebagai perantara belaka.

"Sinau ngarosake lan nyumerepi tunggalipun manungsa,tunggalipun rasa,tunggalipun asal lan maksudipun agesang "

Artinya, “Perlu belajar ikut merasakan dan mengetahui bahwa manusia itu satu, rasa itu satu, berasal dari tempat yang sama, dan belajar memahami arti dari tujuan hidup.”"

"Tangsah anglampahi dados muriding agesang"

Artinya, “Selalu menjalani jadi murid kehidupan/sesama hidup.”
Kehidupan itulah sang guru, karena kehidupan itu juga mengajarkan kepada kita.

Sang Alif

“… Ping kalihipun perlu babat lan ngatur papan kangge masang Alif. (Masang Alif punika inggih kedah mawi sarana lampah. Boten kenging kok lajeng dipun canthelaken kemawon, lajeng dipun tilar kados mepe rasukan).”

Artinya, “Yang keduanya perlu membuka dan mengatur tempat untuk memasang Alif. (Memasang Alif itu harus dengan sarana penghayatan. Tidak boleh hanya dicantolkan begitu saja, lalu ditinggal layaknya menjemur pakaian.)

“Ngawula dateng kawulaning Gusti lan memayu ayuning urip, …”

Maksudnya adalah mengabdi kepada abdinya Tuhan dan memperbaiki keindahan hidup.

Diungkapkan bahwa Drs. R.M.P. Sosrokartono memiliki tiga buah Alif, yaitu :

Sang Alif warna hitam, dengan dasar putih.
Sang Alif warna putih, dengan dasar biru muda.
Sand Alif warna putih, dengan dasar merah.

Ketika melayani dan mengobati orang-orang yang sakit, Drs. R.M.P. Sosrokartono selalu berdiri. Beilau kuat sekali berdiri berjam-jam atau berhari-hari. Setelah mengobati orang-orang sampai pukul 12 malam, Dar-Oes-Salam ditutup. Namun beliau tidak langsung tidur, beliau seringkali bermain catur sampai jam 3, 4 pagi, itupun beliau lakukan sambil berdiri.

Kanthong Bolong

“Nulung pepadhane, ora nganggo mikir
wayah, wadhuk, kanthong.
Yen ana isi lumuntur marang sesami.”

Artinya, “Menolong sesama, tidak perlu memakai pikiran waktu, perut, saku. Jika (saku) berisi mengalir kepada sesama.”

Dengan demikian, maksud dari “Ilmu Kanthong Bolong” adalah sebuah pengetahuan konkrit tentang sebentuk tempat yang selalu kosong, yang secara pasti tempat itu tak pernah membiarkan sesuatu yang dimilikinya tetap ada, karena tempat itu berlobang, maka apapun yang ditaruh di sana selalu mengalir, sehingga menjadi kosong dan sunyi dari apa saja.

“Nulung tiyang kula tindakaken ing pundi-pundi, sak mangsa-mangsa, sak wanci-wanci.”
Maksudnya, menolong orang itu dilaksanakan di mana-mana, sewaktu-waktu, kapan saja.

Sugih Tanpa Bandha
“Sugih tanpa bandha.
Digdaya tanpa hadji.
Ngalurug tanpa bala.
Menang tanpa ngasoraken.”

Artinya, “Kaya tanpa harta. Sakti tanpa azimat. Menyerang tanpa balatentara. Menang tanpa merendahkan.”

Demikianlah kata-kata mutiara yang tertera pada salah satu batu nisan makam Drs. R.M.P. Sosrokartono di Sidhomukti Kudus.

Ajaran Drs. R.M.P. Sosrokartono ini tidak mengajak orang-orang Indonesia jadi orang yang melarat, miskin, tak punya harta, sehingga mudah dipermainkan oleh mereka yang berharta. Tapi sesungguhnya, kembali pada penjelasan bahwa orang kaya itu bukanlah karena banyak harta bendanya, melainkan orang kaya itu adalah orang yang kaya hatinya, yang kaya mentalnya.

“Puji kula mboten sanes namung sugih-sugeng-seneng-ipun sesami.”

Maksudnya, si miskin akan akan tetap jadi miskin atau makin miskin karena bermental miskin.
Bukankah orang kaya itu orang yang sudah tak lagi membutuhkan sesuatu, karena semuanya telah terpenuhi?

Meskipun anda tak berharta, tapi anda sudah merasa cukup dengan apa yang anda dapatkan di dunia ini, maka andalah orang kaya itu. Sebaliknya, meskipun anda banyak berharta, tapi anda masih menginginkan dan membutuhkan sesuatu yang begini dan begitu, maka anda bukanlah orang kya, karena anda masih fakir (butuh) dan kebutuhan anda belum tercukupi.

Digdaya Tanpa Aji

“Ajinipun inggih boten sanes namung aji tekad; ilmunipun ilmu pasrah; rapalipun adilipun Gusti.”
Artinya, “Ajiannya tidak lain hanyalah ajian tekad, ilmunya ilmu pasrah, manteranya keadlan Tuhan.”

Perbuatan taat dan meninggalkan maksiat itulah sumber energi yang dapat membuat seseorang sakti mandraguna, disamping kemampuan diri mengekang gejolak syahwat dan dari perintah nafsu yang buruk.

Rumusan beliau “Digdaya tanpa Aji” ada pada tiga tahapan, yaitu :

Tekad

Tekad adalah sifat yang merujuk pada semangat dan keberanian diri dalam menghadapi segala masalah, seperti rekayasa hidup, fitnah dan bujukan dunia. Tekad ada karena ada niat, sementara segala sesuatu itu tergantung pada niatnya. Jika niatnya itu baik, maka baiklah jadinya. Selain itu, dengan tekad manusia dapat menyelesaikan tugas-tugasnya.

Tekad bukan berarti spekulasi miring, tapi lebih mengarah pada sikap tidak takut pada apapun dan siapapun, sehingga hasil yang dicapaipun menjadi maksimal. Tekad dapat dijadikan senjata, yakni senjata psikis dalam menghadapi setiap masalah.

Oleh karena itu tekad dapat dijadikan ajian, azimat pamungkas dalam segala urusan. Untuk mendapatkan “aji tekad” tidak perlu melakukan laku (tirakat), tidak pula belajar ilmu kanuragan dahulu, tetapi “aji tekad” dapat diperoleh dengan menanam keberanian, kepasrahan, keadilan dan niat yang baik dalam diri.

Pasrah

Ilmu pasrah dapat juga disebut ilmu tawakal. Memasrahkan diri sepenuhnya kepada Yang Maha Kuasa. Ilmu tawakal ini bisa diperoleh dengan menanamkan pemahaman dalam diri bahwa tak ada kuasa dan daya selain kuasa dan daya Tuhan Yang Maha Agung. Hidup dan mati itu urusan Tuhan, sukses dan gagal atas kehendak Tuhan. Intinya, menyerahkan permasalahan hidup ini kepada Tuhan, karena Dialah sebaik-baiknya Wakil. Pasrahkan jiwa dan raga kepada-Nya; Dibalik tawakkal ada keselamatan, karena ketika manusia telah menyerahkan hidup-matinya, segala urusannya kepada Yang Maha Esa, maka Dialah yang akan melindungi dan menyelamatkannya dari bahaya dan bencana.

Keadilan

Keadilan disini adalah lafal, kata/tanda yang disandarkan kepada Tuhan. Keadilan ini sulit didapat dan sulit dipraktekkan, kaena keadilan adalah puncak dari kebaikan.

Ketika manusia tak dapat berbuat adil, maka Tuhanlah yang akan memberikan keadilan. Keadilan Tuhan ini sangat menakutkan, karena Yang Maha Adil itu takkan memandang siapa yang akan diadili, sehingga keadilan benar-benar ditegakkan.

Ketika keadilan-Nya telah berbicara, maka kebenaranlah yang ada. Ketika keadilan Tuhan telah menjadi ucapan seseorang dalam denyut kehidupannya, maka kebenaran dan kebaikanlah yang diperolehnya.

“Tanpa aji, tanpa ilmu, kula boten gadhah ajrih, sebab payung kula Gusti kula, tameng kula inggih Gusti kula.”

Artinya, “Tanpa ajian, tanpa ilmu (kanuragan), saya tidak takut, sebab payung atau pelindung saya adalah Tuhan dan perisai saya juga hanya Tuhan.”

Bertempur Tanpa Pasukan

“Ngalurug tanpa Bala” adalah merupakan sebagian kebenaran hidup yang harus dihayati dan diamalkan, karena ungkapan ini merujuk pada istilah berkarya dengan tangan sendiri. Tak perlu bantuan, tak perlu teriak-teriak meminta pertolongan, karena diri pribadi sudah dapat mengatasi apa yang dialami.

Sesungguhnya musuh manusia adalah setan, baik setan manusia maupun setan jin, maka kepada keduanyalah manusia harus melakukan perlawanan. Sekali lagi, setan-setan itulah yang harus dilawan, diperangi, dan kalau bisa, dimusnahkan saja. Dengan bekal teksd dan keberanian yang suci, maka tak ada yang tak dapat dihancurkan, karena semua mahluk akan binasa kecuali Dzat-Nya.

Kasih sayang dapat melunakkan musuh, dapat menolong, dapat dijadikan pelindung, dan dengan tekad asih, kita tidak akan merasa takut terhadap siapapun dan apapun.

“Ingkang kula dalaken dede tekad pamrih, ananging tekad asih.”
Artinya, “Yang saya pergunakan bukan tekad pamrih, tapi tekad asih.”
“Anglurug tanpa bala, tanpa gaman; Ambedhah, tanpa perang tanpa pedhang.”

Maksudnnya, mengejar (musuh) tanpa tentara, tanpa senjata; menundukkan (musuh) tanpa perang tanpa pedang.Tak perlu teman, tak perlu senjata. Hindarilah peperangan, pertarungan, atau kekerasan.
Yakinlah bahwa orang yang berjalan dengan membawa cinta kasih kepada sesama mahluk akan senantiasa mendapatkan pertolongan dan perlindungan Tuhan.

Meskipun manusia tidak mencari masalah atau musuh, permasalahan atau musuh itu datang dengan sendirinya dan akan meniupkan gangguan-gangguan. Akan tetapi, permasalahan dan musuh yang ada di dalam diri kita sendiri. Tekanan batin, penderitaan mental, atau nafsu-nafsu kotor yang menghuni lembah diri kita itulah permasalahan dan musuh kita yang berat lagi membahayakan, karena tak tampak tetapi dapat kita rasakan.

Nafsu-nafsu jahat yang menghuni diri manusia bermacam-macam. Nafsu-nafsu itulah yang pada umumnya membuat manusia menjadi sombong, kikir, dengki, jahat dan segala bentuk sifat buruk sering bercokol dalam dirinya, sehingga kehinaan dan kenestapaanlah yang diperoleh, bukan kemuliaan dan keselamatan. Maka, sangat elegan jika Drs. R.M.P. Sosrokartono mencetuskan rumusan “Ngalurug tanpa Bala” yang mempunyai muatan ajaran spiritual dalam rangka menghalau segala bentuk keburukan yang ada didalam diri manusia, supaya manusia tidak menjadi hina, karena barang siapa yang dikalahkan dengan hawa nafsunya maka kehinaanlah yang akan bersanding mesra dengannya.

Trimah Mawi Pasrah
“Trimah mawi pasrah.
Suwung pamrih, tebih ajrih.
Langgeng tan ana susah, tan ana seneng.
Antheng mantheng sugeng jeneng.”

Artinya, “Menerima dengan pasrah. Tiada pamrih, jauh dari takut. Abadi tiada duka, tiada suka. Tenang memusat, bahagia bertakhta.”

Konsep “trimah mawi Pasrah”, oleh Drs. R. M. P. Sosrokartono, diperjelas dengan apa yang pernah beliau katakan di bawah ini :

“Ikhlas marang apa sing wes kelakon.
Trimah apa kang dilakoni.
Pasrah marang apa bakal ana.”

Artinya, “Ikhlas terhadap apa yang telah terjadi. Menerima apa yang dijalani. Pasrah terhadap apa yang akan ada.”

Jadi, selain bergandengan dengan ilmu sabar, ilmu pasrah dan ilmu trimah juga bergandengan dengan ilmu ikhlas, tidak mencari pamrih, tidak karena ingin dipuji, tidak pamer kepada orang lain. Apa yang telah terjadi, biarlah terjadi, karena kepasrahan akan membawa keridhaan, dan keridhaan akan membawa keikhlasan, dan itulah sabar, sebuah sifat yang sangat disukai oleh Tuhan.

“Trimah mawi Pasrah” juga dapat diartikan bahwa manusia hanya dapat berusaha, sedangkan
Tuhanlah yang menentukan segalanya.

Oleh karena itu, janganlah terlalu menyesali nasib, karena dibalik derita ada bahagia, dibalik kesusahan ada kemudahan. Yang pasrah akan mendapat kemudahan, yang ridha akan mendapatkan ganti, yang sabar akan mendapatkan kemuliaan dan yang ikhlas akan mendapat ketenangan dan kebahagiaan hati.

Suwung Pamrih Tebih Ajrih

” … Suwung pamrih, suwung ajrih, namung madosi barang ingkang sae, sedaya kula sumanggaken dhateng Gusti … “

Artinya, ” … Tiada pamrih, tiada takut, hanya mencari sesuatu yang baik, semua saya serahkan kepada Tuhan … “

“Yen kula ajrih, kenging dipun wastani ngandut pamrih utawi ancas ingkang boten sae.”

Artinya, “Jika saya takut, boleh dikatakan (bahwa saya) menyimpan pamrih atau niat yang tidak baik.”

“Luh ingkang medal sangking manah punika, dede luh ipun tangis pamrih, nanging luh peresanipun manah suwung pamrih.”

Artinya, “Air mata yang keluar dari hati ini, bukanlah air matanya tangis pamrih, tetapi air mata perasan hati yang kosong pamrih.”

Ketika anda menangis, menangislah karena syukur dan ikhlas, bukan karena menginginkan imbalan yang tak kunjung tiba. Apalah artinya menantikan imbalan, jika semua yang ada tak mengizinkan. Apalah artinya tangisan hanya gara-gara ingin dipuji, dibalas atau diberi, jika kemuliaan jauh dari kita. Yang terpenting adalah kedamaian, ketentraman, aman, kebahagiaan dan kemuliaan.
Pamrih itu hanya membuat seseorang menjadi penakut, picik, menderita, menjenuhkan, bahkan dapat membuat orang menjadi hina.

Apalah artinya berpegang kepada kesementaraan, jika di alam baka kita dicambuk derita ?!

Padhang Ing Petheng

” … Wosipun inggih punika ngupadosi padhang ing peteng; seneng ing sengsara, tunggaling sewu yuta … “

Artinya, “Yang jelas adalah mencari terang di dalam gelap; senang dalam kesengsaraan, ribuan juta contohnya.”

Apa saja yang ada di dunia ini relatif. Di bumi ini selalu ada dualisme, seperti padhang-peteng; seneng-sengsara; sehat-sakit; hujan-panas dan lain sebagainya. Demikianlah yang namanya kehidupan. Peteng terus itu tidak ada. Padhang terus juga tidak ada. Seneng terus itu juga tidak ada. Sengsara terus itupun tidak ada. Oleh karena itu, yang bertentangan itu dibutuhkan dalam kehidupan ini. Dengan adanya panjang, kita tahu pendek; dengan adanya sakit, kita bisa merasakan sehat.

Dengan mengetahui baik, maka kita tahu apa itu buruk. Hujan dan panas, keduanya dibutuhkan dalam kehidupan ini. Kalau orang tidak mau peteng dan selalu ingin yang padhang saja, apa jadinya dunia ini? Kapan kita istirahat, kapan kita tidur? Kalau peteng terus, apa saja yang semula tumbuh pasti mati. Sebab tidak terkena sinarnya matahari. Kalau panas terus, bumi ini akan kering kerontang, kematian akan tersebar di muka bumi. Kalau hujan terus, pasti terjadi banjir di mana-mana. Daratan akan tenggelam, kelaparan melanda dunia disertai kematian umat manusia. Dimana-mana yang ada cuma air! Apa jadinya bumi ini?

Senang dan sengsara harus diterima seperti apa adanya, karena kedua-duanya membawa manfaat dan didalamnya ada hikmah yang tersembunyi. Janganlah kita terikat atau terbelenggu oleh senang dan susah. Jika kesengsaraan datang, terimalah. Jika kesenangan datang, sambutlah. Mengapa? Supaya hidup ini dapat dijalani dengan tenang.

Di manapun anda temukan kegelapan, maka terangilah. Di manapun anda temukan kesengsaraan, maka berilah kesenangan. Janganlah berhenti melakukan tugas itu, karena berjuta-juta yang membutuhkan cahaya terang dan sinar kebahagiaan.

Kamis, 04 Agustus 2016

SERAT SUJINAH


 

SERAT SUJINAH

 

Salah satu kitab suluk yang mengajarkan pendidikan budi pekerti adalah Suluk Sujinah. Seperti layimnya jenis kitab-kitab suluk, Suluk sujinah dituangkan dalam bentuk dialog, antara Syekh Purwaduksina dengan istrinya Dyah Ayu Sujinah mengenai asal asal mula, kewajiban, tujuan, dan hakikat hidup menurut agama Islam, khususnya ajaran tasawuf. Diterangkan juga tahap-tahap yang harus dilalui manusia dalam upayanya agar bisa luluh kembali kepada Tuhan.

 

Tidak mudah untuk menemukan pendidikan budi pekerti dalam Suluk Sujinah yang sebagaian besar isinya membentangkan masalah jati diri manusia, apa saja yang akan dialami anak manusia menjelang dan sesudah mati, Dzat Yang Kekal dan lain-lain, hal yang tidak mudah dipahami, karena dituangkan dalam bahasa yang sarat lambang. Di bawah ini ungkapan beberapa bait yang berisi pendidikan budi pekerti dalam Suluk Sujinah sebagai berikut :

 

SIFAT PERBUATAN LAHIRIYAH

 

Agampang janma sembayang, nora angel wong angaji, pakewuhe wong agesang, angadu sukma lan jisim, salang surup urip, akeh wong bisa celathu, sajatine tan wikan, lir wong dagang madu gendhis, iya iku wong kandheng ahli sarengat.

 

Terjemahan :

 

Adalah mudah manusia sembahyang, tidaklah sesulit orang memuji, rintangan hidup adalah mengadu sukma dan tubuh, salah paham kehidupan, banyak orang bisa bicara, nyatanya tidak mengetahui, sperti orang berdagang madu gula, orang yang terhenti sebagai ahli syariat.


Sang Dyah kasmaran ing ngelmi, tan nyipta pinundhut garwa, amaguru ing batine, kalangkung bekti ing priya.

 

Terjemahan :

 

Si cantik gemar belajar ilmu, tidak mengira akan diperistri, dalam hati ia berguru dan sangat berbakti kepada suami.


Mung tuwan panutan ulun, pangeran dunya ngakerat.

 

Terjemahan :

 

Hanya tuan yang kuanut, pujaan di dunia dan akhirat.

 

Ping tiga ran bayuara, ya tapaning estri ingkang utami, lire bangkit nyaring tutur, rembuge pawong sanak, tan ………, kang tinekadken ing driya, pituturing guru laki.

 

Terjemahan :

 

Ketiga disebut banyuara, yakni tapa istri utama, artinya mampu menyaring kata, tutur kata sanak saudara, tidak mudah mematuhi dan meiru, dalam hati hanya bertekad mematuhi nasehat suami.


Dyah Ayu Sujinah lon aturnya, adhuh tuwan nyuwun sihnya sang yogi, tan darbe guru lyanipun, kajawi mung paduka, dunya ngakir tuwan guru laki ulun.

Terjemahan :

Dyah Ayu Sujinah berkata perlahan, “aduhai, aku mohan belas kasihan, aku tidak mempunyai guru lain, kecuali hanya paduka, di dunia dan akhirat, tuanlah guruku”.


Dyah Ayu Sujinah umatur ngabekti, langkung nuwun pangandika tuwan, kapundhi ing jro kalbune, dados panancang emut, karumatan sajroning budi.

 

Terjemahan :

 

Dyah Ayu Sujinah berkata dengan hormat, “sangat berterimakasih atas penjelasanmu, kuingat dalam hati baik-baik, dan kulakukan”.

 

Seseorang yang hanya terhenti pada tahap syariat diibaratkan sebagai berdagang madu gula. Dalam mengarungi samudera kehidupan, manusia pasti akan mengalami berbagai rintangan yang tidak cukup diatasi dengan banyak bicara saja tanpa disertai laku amal.

 

Dalam hubungan suami istri, dilukiskan bahwa keutamaan seorang istri ialah wajib setia bakti patuh kepada suami. Suami diibaratkan sebagai guru yang harus dianut tanpa kecuali, dan sebagai pujaan di dunia dan akhirat.istri yang dipandang utama ialah istri yang mampu menyaring tutur kata orang lain, tidak mudah terpengaruh siapapun, hanya patuh dan tunduk kepada nasihat suami.

 

 MATI DALAM HIDUP

 

Laku ahli tarikat, ibarat mati di dalam hidup, semata-mata hanya mematuhi kehendak Tuhan. Kemudia dijelaskan tentang empat macam tapa, yaitu tapa ngeli : “berserah diri dan mematuhi sembarang kehendak Tuhan, tapa geniara : “tidak sakit hati apabila dipercakapkan orang”, tapa banyuara : “mampu menyaring kata dan tutur kata sanak saudara, tidak terpengaruh orang lain, hanya mematuhi nasehat suami”, dan tapa Ngluwat : “tidak membanggakan kebaikan, jasa maupun amalanya”. Terhadap sesama selalu bersikap rendah hati dan tidak gemar cekcok, lagi pula ia menyadari bahwa setiap harinya manusia selalu harus pandai-pandai memerangi gejolak hawa nafsu yang akan menjerumuskan dalam kesesatan. Mempunyai pengertian yang mendalam bahwa pada hakikatnya manusia sebagai makhluk Tuhan, adalah sama, setiap orang mempunyai kelebihan dan kekurangan.


Lakune ahli tarikat, atapa pucuking wukir, mungguh Hyang Suksma parenga, amati sajroning urip, angenytaken ragi, suwung tan ana kadulu, mulane amartapa, mrih punjul samining janmi, wus mangkana kang kandheg aneng tarekat.

 

Terjemahan :

 

Laku ahli tirakat adalah bertapa di puncak gunung, sekiranya Tuhan meridhoi mati di dalam hidup, menghanyutkan diri, kosong tidak ada yang terlihat, oleh karena itu bertapa agar melebihi sesamayan, demikianlah barang siapa yang terhenti pada tarikat.

 

Dhihing ingkang aran tapa, iya ngeli lire pasrah ing Widi, apa karsane Hyang Agung, iya manut kewala, kadya sarah kang aneng tengahing laut, apa karsaning Pangeran, manungsa darma nglakoni.

 

Terjemahan :

 

Pertama, yang disebut tapa ngeli yakni, mengahayutkang diri, artinya berserah diri kepada Tuhan, sebarang kehendak-Nya patuhi sajalah, ibarat sampah di tengah laut, sebarang kehendak Tuhan manusia hanya pelaksana semata.


Ping kalih kang aran tapa , geniara adadi laku ugi, ana dene artinipun, malebu dahana, lire lamun kabrangas ing ujar …. den ucap ing tangga, apan ta nora sak serik.

 

Terjemahan :

 

Kedua, yang disebut tapa geniara menjadi laku juga, adapun artinya ialah masuk kedlam api, maksudnya jika terbakar oleh kata-kata dan dipercakapkan tetangga tidak sakit hati.


Ping tiga ran bayuara, ya tapaning estri ingkang utami, lire bangkit nyaring tutur, rembuge pawong sanak, tan gumampang anggugu, kang tinekadken ing driya, pituturing guru laki.

 

Terjemahan :

 

Ketiga, disebut banyuara, yakni tapanya istri utama, artinya mampu menyaring kata-kata  atau tutur kata sanak saudara, tidak mudah mengikuti dan meniru orang lain, dalam hati bertekad mematuhi nasehat suami.


Tapa kang kaping sekawan, tapa ngluwat mendhem sajroning bumi, mengkene ing tegesipun, aja ngatonken uga, marang kabecikane dhewe puniku, miwah marang ngamalira, pendhemen dipun arumit.

 

Terjemahan :

 

Tapa yang keempat adalah tapa ngluwat, memendam diri di dalam tanah, beginilah maksudnya ; jangan memperlihatkan juga kebaikan diri sendiri, demikian pula amalmu pemdamlah dalam-dalam.


Lawan malih yayi sira, dipun andhap asor marang sasami, nyingkirana para padu, utamane kang lampah, tarlen amung wong bekti marang Hyang Agung, iku lakuning manungsa, kang menang perang lan iblis.

 

Terjemahan :

 

Lagi pula dinda, bersikaplah rendah hati terhadap sesama, jauhilah sifat gemar cekcok, seyogyanya laku itu tiada lain hanya hanya berbakti kepada Tuhan Yang Maha Agung, itulah laku manusia yang menang berperang dengan iblis.


Iku benjang pinaringan, ganjaran gung kang menang lawan iblis, langkung dening adiluhung, suwargane ing benjang, wus mangkono karsane Hyang Mahaluhur, perang lan iblis punika, sajatining perang sabil.

 

Terjemahan :

 

Kelak akan mendapat annugerah besar, barang siap menang melawan iblis, sangat indah mulia surga firdausnya kelak, memang demikianlah kehendak Tuhan yang Mahaluhur, perang melawan iblis itu nyata-nyata perang sabil.


Yayi perang sabil punika, nora lawan si kopar lawan si kapir, sajroning dhadha punika, ana prang bratayudha, langkung rame aganti pupuh-pinupuh, iya lawan dhewekira, iku latining prang sabil.

 

Terjemahan :

 

Dinda, perang sabil itu bakan melawan kafir saja, di dalam dada itu ada perang baratayuda, ramai sekali saling pukul-memukul yaitu perang melawan dirinya nafsu, itulah sesungguhnya perang sabil.

 

Kutipan diatas bermakna bahwa sebagai hamba Tuhan sikapnya hendaklah selalu sadar percaya, dan taat kepada-Nya. Dalam mengarungi samudra kehidupan, agar tidak sesat. Kecuali itu, karena menurut kodratnya manusia bukan makhluk soliter, yang dapat hidup sendiri, memenuhi segala kebutuhan sendiri, melainkan adalah makhluk sosial. Dalam tata pergaulan hidup bermasyarakat hendaklah mematuhi nilai-nilai hidup dan mempunyai watak terpuji, ialah sabar penuh pengertian, berbudi luhur, rendah hati, tidak cenderung mencela dan mencampuri urusan orang lain, jujur, tulus ikhlas, tidak angkuh maupun congkak, tidak iri maupun dengki dan bersyukur atas barang apa yang telah dicapai berkat ridla Tuhan. Di samping itu hendaklah sadar bahwa manusia itu bersifat lemah, ibarat wayang yang hanya dapat bergerak atas kuasa dalang. 

 

SIFAT AKHLI HAKIKAT 

 

Lakune ahli hakekat, sabar lila ing donyeki, laku sirik tan kanggonan, wus elok melok kaeksi, rarasan dadi jati, ingkang jati dadi suwung, swuh sirna dadi iya, janma mulya kang sejati, pun pinasthi donya ngakir manggih beja.

 

Terjemahan :

Laku ahli ahli hakikat adalah, sabar ikhlas di dunia, tidak musrik, nyata-nyata telah tampak jelas,pembicaraan menjadi kesejatian, yang sejati menjadi kosong, hilang lenyap menjadi ada, manusia mulia yang sejati, telah dipastikan ia didunia akhirat mendapat kebahagian.


Sang wiku dhawuh ing garwa, ingkang aran bumi pitung prakawis, kang aneng manungsa iku, pan wajib kaniwruhan, iku yayi minangka  pepaking kawruh, yen sira nora weruha, cacad jenenge wong urip.

 

Terjemahan :

 

Sang pertapa berkata kepada istrinya, yang dinamai tujuh lapis bumi, yang ada pada diri manusiaitu, wajib diketahui, dinda itu sebagai kelengkapan ilmu, jika kau tidak mengetahuinya, cacad namanya bagi orang hidup.


Bumi iku kawruhana, ingkang aneng badan manungsa iki, sapisan bumi ranipun, ingaranan bumi retna, kapindho ingkang aran bumi kalbu, bumi jantung kaping tiga, kaping catur bumi budi.

 

Terjemahan :

 

Katahuilah bumi, yang ada pada tubuh manusia itu, pertama namanya bumi retna, yang kedua bernama bumi kalbu, ketiga bumi jantung, keempat bumi budi.


Ingkang kaping lima ika, bumi jinem arane iku yayi, kaping nenem puniku, ingaranan bumi suksma, ping pitune bumi rahmat aranipun, dhuh yayi pupujan ingwang, tegese ingsun jarwani.

 

Terjemahan :

 

Yang kelima, bumi jinem namanya, yang keenam dinda, dinamai bumi sukma, ketujuh bumi rahmat namanya, aduhai dinda pujaanku, artinya ku jelaskan begini.


Ingkang aran bumi retna, sajatine dhadhanira maskwari, bumine manungsa tuhu, iku gedhong kang mulya, iya iku astanane islamipun, dene kaping kalihira, bumi kalbu iku yayi.

 

Terjemahan :

 

Yang dinamai bumi retna, sesungguhnya dadamu dinda, benar-benar bumu manusia, itu gedung mulia, menurut islam itu istana, adapun yang kedua, itu bumi kalbu dinda.


Iku yayi tegesira, astanane iman iknag sejati kaping tiga bumi jantung, yaiku ingaranan, astanane anenggih sakehing kawruh, lan malih kaping patira, kang ingaranan bumi budi.

 

Terjemahan :

 

Adapun artinya, istana iman sejati ketiga bumi jantung, yaitu dinamai istana semua ilmu, dan lagi yang keempat, yang dinamai bumi budi.


Iku yayi, tegesira, astanane puji kalawan dzikir, dene kaping gangsalipun, bumi jenem puniku, iya iku astane saih satuhu, nulya kang kaping nemira, bumi suksma sun wastani.

 

Terjemahan :

 

Dinda, itu artinya istana puji dan dzikir, adapun yang kelima , bumi jinem itu, istana kasih sejati, kemudian yang keenam, kunamai bumi sukma.


Ana pun tegesira, astananing sabar sukur ing Widi, anenggih kang kaping pitu, ingaranan bumi rahmat, kawruhana emas mirah tegesipun, astananing rasa mulya, gantya pipitu kang langit.

 

Terjemahan :

 

Adapun artinya, istana kesabaran dan rasa syukur kepada Tuhan, adapun yang ketujuh, dinamai bumu rahmat, dinda sayang, ketahuilah artinya, istana rasa mulia, kemudian berganti tujuh langit.


Kang aneng jroning manungsa, kang kaping pisan ingaranan roh jasmani, dene kaping kalihipun, roh rabani ping tiga, roh rahmani nenggih ingkang kaping catur roh rohani aranira, kaping gangsal ingkang langit.

 

Terjemahan :

 

Yang ada dalam diri manusia, yang pertama disebur roh jasmani, adapun yang kedua roh rohani, ketiga roh rahmani, yang keempat roh rohani namanya, langit yang kelima.


Roh nurani aranira, ingkang kaping nenem arane yayi, iya roh nabati iku, langit kang kaping sapta, eroh kapi iku yayi aranipun, tegese sira weruha, langit roh satunggil-tunggil.

 

Terjemahan :

 

Roh nurani namanya, yang keenam dinda, ialah roh nabati, langit yang ketujuh, roh kapi itu dinda namanya, ketahuilah artinya langit roh masing-masing.


Tegese langit kapisan, roh jasmani mepeki ing ngaurip, aneng jasad manggonipun, langit roh rabaninya, amepeki uripe badan sakojur, roh rahmani manggonira, mepeki karsanireki.

Terjemahan :

Arti langit pertama, roh jasmani memenuhi kehidupan, di tubuh tempatnya, langitroh rabani, memenuhi hidup sekujur tubuh, roh rahmani tempatnya, memenuhi pada kehendakmu.


Langit roh rohani ika, amepeki ing ngelminira yayi, langit roh nurani iku, mepeki cahya badan, roh nabati amepeki idhepipun, iya ing badan sedaya, langit roh kapi winilis.

 

Terjemahan :

 

Langit roh rohani itu, memenuhi dalam dirimu, langit roh nurani itu, memenuhi cahaya tubuh, roh nabati memenuhi pikiranmu, dan seluruh tubuh, langit roh kapi disebut-sebut.


Mepeki wijiling sabda, pan wus jangkep cacahing pitung langit, eling-elingen ing kalbu, apa kang wus kawedhar, amuwuhi kandeling iman, ……….

 

Terjemahan :

 

Memenuhi terbabarnya sabda, telah lengkaplah jumlah tujuh langit, ingat-ingatlah dalam hati, apa yang telah terungkap, menambah tebalnya iman.

 

Laku ahli hakikat adalah sabar, tawakal, tulus iklas. Pada tahap ini manusia telah mengenal jati dirinya, yang dilambangkan terdiri dari atas tujuh lapis bumi dan tujuh lapis langit sebagai kelengkapan ilmu. Kesemuanya berasal dari Tuhan, dan semua itu menambah tebalnya iman. Wujudnya sebagai wadah ilmu, dan ilmunya ada pada Tuhan. Manusia yang telah memahami ilmu Tuhan, tidak berpikiran sempit, kerdil atau fanatik, dan tidak pula takabur. Ia justru bersikap toleran, tenggang rasa, hormat-menghormati keyakinan orang lain, karena tahu bahwa ilmu sejati, yang nyata-nyata bersember satu itu, hakikatnya sama. Ibarat sungai-sungai dari gunung manapun mata airnya, pasti akan bermuara ke laut juga. Sebaliknya jikalau ia memperdebatkan kulit luarnya, berarti beranggapan benar sendiri, dan belum sampai pada inti ajaran yang dicari. Orang yang telah sampai tahap hakikat, tidak munafik dan tidak mempersekutukan Tuhan.


Inkang ana jroning badan kabeh, pan punika saking Hyang Widi, wujud ingkang pasthi, wawadhahing ngelmu.

Terjemahan :

Semua yang ada di dalam tubuh, itu dari Tuhan, wujud yang pasti, sebagai tempat ilmu.


Iya ngelmu ingkang denwadhahi, ana ing Hyang Manon, poma iku weling ingsun angger, den agemi lawan den nastiti, tegese wong gemi, ywa kongsi kawetu.

 

Terjemahan :

 

Ilmu yang diwadahi, ada pada Tuhan, teristimewa sekali pesanku nak, hemat dan telitilah, arti orang hemat, jangan sampai keluar.


Dene ta tegese wong nastiti, saprentah Hyang Manon, den waspada sabarang ngelmune, terusana lahir tekeng batin, ywa padudon ngelmu, lan wong liya iku.

 

Terjemahan :

 

Adapun arti orang teliti, akan semua perentah Tuhan, hendaknya waspada terhadap sabarang ilmu, seyogyanya teruskanlah lahir sampai batin, jangan bercekcok tentang ilmu, dengan orang lain.


Yen tan weruh ngelmune Hyang Widi, tuna jenenging wong, upamane kaya kali akeh, ana kali gedhe kali cilik, karsanira sami, anjog samudra gung.

 

Terjemahan :

Jika tidak mengetahui ilmu Tuhan, berarti rugi sebagai manusia, ibarat seperti sungai banyak, ada sungai besar ada sungai kecil, kehendaknya sama, bermuara di samudra raya.


Sasenengan nggennya budhal margi, ngetan ana ngulon, ngalor ngidul saparan-parane, suprandene samyanjog jaladri, ywa maido ngelmi, tan ana kang luput.

 

Terjemahan :

 

Sesuka hati orang mencari jalan, ada yang ketimur, kebarat ke utara ke selatan dan kemana saja perginya, tetapi semua bermuara di laut, jangan mempercayai ilmu, tak ada yang keliru.


Lir kowangan kang cupet ing budi, sok pradondi kawruh, sisih sapa ingkang nisihake, bener sapa kang mbeneraken yayi, densarwea pasthi, amung ngajak gelut.

 

Terjemahan :

 

Ibarat kumbang air yang berbudi picik, kadang bertengkar ilmu, bila salah siapakah yang menyalahkan, bila benar siapa yang membenarkan dinda, jika singgung pasti, hanya mengajak bergelut.


Papindhane wong sumuci suci, iku kaya endhog, wujud putih amung jaba bae, njero kuning pangrasane suci, iku saking warih, warna cilam-cilum.

 

Terjemahan :

 

Ibarat orang yang mengaku suci, seperti telur, berwujud putih hanya luarnya saja, dalamnya kuning menurut perasaannya suci, itu dari air, berubah-ubah.


Wong mangkana tan patut tiniru, yayah kayu growong, isinira tan liyan mung telek, nadyan bisa tokak-tokek muni, tan pisan mangerti,  ucape puniku.

Terjemahan :

Orang seperti itu tidak patut dicontoh, seperti kayu berlubang, isinya tidak lain hanya tokek, sekalipun bisa berbunyi tekek-tekek, sama sekali tidak mengerti, apa ucapanya itu.


Poma yayi den angati-ati, ujar kang mangkono, den karasa punika rasane, rinasakna sucine wong ngelmi, kang kasebut ngarsi, lir sucining kontul.

 

Terjemahan :

 

Teristemewa sekali dinda berhati-hatilah, kata seperti itu, rasakanlah hahekatnya, rasakanlah kesucian orang berilmu, yang tersebut didepan, seperti kesucian burung bagau.


Kicah-kicih anggung saba wirih, angupaya kodhok, lamun oleh pinangan ing enggen, wus mangkono watak kontul peksi, sandhange putih, panganane rusuh.

 

Terjemahan :

 

Berulangkali selalu pergi di tempat berair, mencari katak, jika telah dapat dimakan ditempat, memang demikian perangai burung bagau, pakaiannya putih, makanannya kotor.


Ywa mangkono yayi wong ngaurip, poma wekas ingong, den prayitna rumeksa badane, aywa kadi watak kontul peksi, mundhak niniwasi, dadi tanpa dunung.

 

Terjemahan :

 

Dinda, janganlah demikian orang hidup, teristemewa sekali pesan ku, berhati-hatilah menjaga tubuh, jangan seperti perangai burung bangau, karena memyebabkan celaka, sehingga tanpa tujuan.


Mituhua pitutur kang becik, yayi den kalakon, nyingkir ana jubriya kibire, lan sumungah aja anglakoni.

 

Terjemahan :


Patuhilah nasihat utama dinda, semoga terlaksana, singkirkan watak congkak dan takabur, dan jangan pula angkuh.

Jumat, 01 Juli 2016

SYEIKH SITI JENAR DALAM SERAT CENTINI



SYEIKH SITI JENAR DALAM SERAT CENTINI

ASMARADANA

Pupuh 1 s/d 31

1. Suhunan ing Bayat nguni, sung carita marang ingwang, eyangmu buyut kalane, kumpulan lan wali sanga, samya (m)babar sêsotya, Trusing ngaji pan akumpul. aywa ana parêbutan.

Dahulu Suhunan ing Bayat (Sunan Têmbayat), pernah memberikan cerita kepadaku, cerita tentang Eyang Buyut-mu (Sunan Têmbayat), (kala) tengah berkumpul dengan para Wali semua, mewedarkan mutiara ilmu, (Sunan Giri mengingatkan) Saat nanti telah berkumpul, jangan saling berebut kebenaran sendiri-sendiri.

2. Kinarya gita ing kawi, ……………………., ing Giri Gajah ênggone, tatkala agugunêman, para wali sasanga, ing Argapura (ng)gennipun, kadhaton Ratu agama.

Dibuat sebagai pelajaran luhur, ………………………, di Giri Gajah tempatnya, tempat untuk bermusyawarah, oleh para Wali sembilan, di Argapura tepatnya, letak keraton Sang Ratu Agama (Sunan Giri).

3. Wali sadaya tinari, denira Prabu Satmata, Suhunan Benang tinaros, myang Suhunan Kalijaga, Suhunan Ngampeldhênta, Suhunan Kudus tinantun, kalawan Syeh Siti Jênar.

Seluruh Wali diminta hadir, oleh Prabu Satmata (Sunan Giri), Suhunan Benang diminta hadir pula, lantas Suhunan Kalijaga, lantas Suhunan Ngampeldhênta (Sunan Ampel), Suhunan Kudus juga diminta hadir, juga Syeh Siti Jênar.

4. Syeh Bêntong tumut tinari, sarta Pangeran Palembang, Panêmbahan Madurane, aseba mring Giri Liman, angling Prabu Satmata, Sukur pêpêg anakingsun, sami limuta kaliman.

Syeh Bêntong ikut diminta hadir, juga Pangeran Palembang, Panêmbahan Madura juga, semua menghadap ke Giri Liman (Giri Gajah ~ Liman : Gajah. Keraton Sunan Giri), berkata Prabu Satmata (Sunan Giri), Syukurlah semua lengkap hadir, semua berkenan datang ke Giri Gajah.

5. Sadaya tunggala kapti, sampun wontên kang sulaya, arêmpêga kang wiraos, sami ambabar sosotya, sami miyak warana, sampun wontên masang sêmu, den anglela den têtela.

Aku harapkan semua bersatu pendapat, jangan sampai berdebat sendiri, satukan kehendak, saat mewedarkan mutiara ilmu, membuka rahasia, jangan terlalu banyak memakai bahasa kias, jabarkan saja apa adanya.

6. Jêng Suhunan Benang angling, ambabar kang pangawikan, Têgêse sariraningong, Dat Sipat Apngaling Allah, nyata ing kalbu amba, Datollah kang amurbeku, masesa ing dhewekira.

(Kang)jêng Suhunan Benang berkata, mulai mewedarkan kelebihannya, Sesungguhnya badanku ini, adalah Dzat Sifat Af’al Allah, sangat nyata di dalam Kesadaran hamba, Dzatullah-lah yang menguasai, dan berwenang dalam badanku.

7. Jêng Suhunan Adiluwih, ambabar kang pangawikan, Têgêse sariraningong, Iya sadar jênêngamba, iya jênêging Purba, iya Alah Sukma Luhur, jênêng Urip lawan Jagad.

(Kang)jêng Adiluwih (Sunan Kalijaga) berkata, mulai mewedarkan kelebihannya, Kesadaran-lah yang patut menjadi namaku, patut menjadi nama Yang Maha Kuasa, yaitu Allah (Hyang) Suksma Yang Luhur, (patut menjadi) nama dari Sang Hidup dan nama seluruh semesta.

8. Jêng Suhunan Giri-wêsthi, ambabar kang pangawikan, Têgêse sariraningong, Iman Urip lan Nugraha, Budi uriping Suksma, Urip sara’ Allah iku, mangkana ing kawruhamba.

(Kang)jêng Suhunan Giri-wêsthi berkata, mulai mewedarkan kelebihannya, Sesungguhnya badanku ini, terdiri dari Iman (Keyakinan~maksudnya adalah jasad halus) Urip (Hidup~maksudnya adalah Roh) dan Nugraha (Anugerah~maksudnya adalah jasad kasar), Kesadaran adalah intisari dari (Hyang) Suksma, Sang Hidup tak lain adalah Allah itu sendiri, begitulah pemahamanku.

9. Jêng Suhunan Kudus angling, ambabar kang pangawikan, Roh wajib ing imaningong, cahya mancur kadi surya, mijil sangking prabawa, amartani lampahipun, anguripi ing sajagad.

(Kang)jêng Suhunan Kudus berkata, mulai mewedarkan kelebihannya, Roh adalah pangkal keyakinanku, (Roh bagaikan) sebuah Cahaya yang memancar layaknya sinar surya, mengeluarkan perbawa yang luar biasa, menyelimuti jalannya semesta raya, menghidupi seluruh jagad.

10. Panêmbahan Madura ngling, ambabar kang pangawikan, Kang aran Kanugrahane, Kundhi Allah ta punika, têgêse Kundhi ika, nabi Allah jatinipun, jinaten ing nama Allah

Panêmbahan Madura berkata, mewedarkan kelebihannya, Yang dinamakan Anugerah Sejati, adalah Kundhi Allah, maksudnya Kundhi, tak lain adalah Nabi Allah, menyatu dalam kesejatian dalam nama Allah.

11. Pangeran Palembang angling, ambabar kang pangawikan, Têgêse sariraningong, têgêse Allah punika, Allah Ingkang Amurba, Angurip Mahaluhur, Amisesa Purba dhawak.

Pangeran Palembang berkata, mewedarkan kelebihannya, Sesungguhnya badanku ini, tak lain adalah Allah, Allah Yang Maha Berkuasa, Maha Hidup dan Maha Luhur, Berwenang menguasai semesta raya.

12. Prabu Satmata mangkya ngling, ambabar kang pangawikan, Sami lan Allah Purbane, kang ngawruhi iya Allah, kaping kalih Nur Badan, kaping tiga Rasul iku, kaping pat Datollah ika.

Prabu Satmata (Sunan Giri) lantas berkata, mewedarkan kelebihannya, Tiada beda dengan Allah Kuasanya, yang mengetahui pertama tiada lain kecuali Allah, yang kedua Nur dan Badan fisik, yang ketiga Rasul, dan yang keempat Dzatullah.

13. Syeh Siti Jênar mangkya ngling, ambabar kang pangawikan, Asêmbah ing Allah ingong, sujud rukuk padha Allah, sêmbah sinêmbah Allah, Ingsun Kang Amurba iku, Kang Misesa Ingsun uga.

Syeh Siti Jênar lantas berkata, mewedarkan kelebihannya, (Dalam) menyembah Allah, yang sujud maupun yang rukuk adalah Allah, yang menyembah maupun yang disembah adalah Allah, AKU-lah yang Berkuasa, Yang Berwenang tak lain juga AKU.

14. Wali sadaya mangkya ngling, Siti Jênar Kadariyah, katêrasan iku linge, Siti Jênar sigra ngucap, adoha yen bênêra, ingkang pêrak iku êmbuh, iku Allah supayaa.

Maka berkatalah seluruh Wali, Syeh Siti Jênar berpaham Qadariyyah, semuanya adalah tunggal menurutnya, Siti Jênar menjawab, Dikatakan berpisah-pun tiada tepat, dikatakan dekat-pun juga tidak benar, itulah Allah.

15. Prabu Satmata mangkya ngling, Iku jisim Siti Jênar, Syeh Lêmah Bang mangkya linge, Raga jiwa den micara, padesane den tilar, Allah kang anglela iku, sakarsanipun Wisesa.

Prabu Satmata (Sunan Giri) lantas berkata, Yang kamu tunjuk sebagai Allah itu jasad-mu, Syeh Lêmah Bang menjawab, tiada membicarakan Raga dan Jiwa (Badan halus), semua tempat Roh telah ditinggalkan, semua tak lain hanya Allah, sekehendak-Nya Berwenang.

16. Wali sadaya samya ngling, Salah sira Siti Jenar, dene angaku badane, Allah badan Siti Jênar, tan langgêng aneng dunya, Siti Jênar iku luput, têmbe mangke ngaku Suksma.

Maka seluruh Wali berkata, Dirimu salah wahai Siti Jênar, mengatakan badan fisikmu Allah, dan Allah berwujud dalam badan Siti Jênar, badan fisikmu tak kekal didunia ini, Siti Jênar jelas telah salah, dia telah mengaku (Hyang) Suksma (Tuhan).

17. Pan wontên lakone nguni, sami ambabar sosotya, sampun aling-aling kang wong, sami amiyak warana, aja na salah cipta, kene yen warahên dudu, anging panggah Siti Jênar.

Dan tersebutlah pada pertemuan selanjutnya, (konon katanya) semua mewedarkan mutiara ilmu, tiada memakai tirai rahasia lagi, semua membuka penutup ilmu, agar tiada salah dalam memahami, disini agar jelas mana yang pemahamannya sesat, akan tetapi pendapat Siti Jênar tetap tiada goyah.

18. Prabu Satmata mangkya ngling, Syeh Lêmah Bang kamanungsan, sanak pakenira kabeh, tan beda lan pakenira, nanging sampun anglela, manawi dadi klurung, akeh wong kang anggêgampang.

Maka Prabu Satmata berkata, (Akan tetapi pendapat) Syeh Lêmah Bang terlalu berani, daripada seluruh saudara-saudara semuanya di sini, padahal maksudnya tiadalah berbeda, tapi terlalu jelas apa yang diucapkannya, bisa membuat salah paham, sehingga membuat orang menjadi menggampangkan agama.

19. Kathah wong kang tanpa yêkti, tanpa yun angguguruwa, akeh kang (ng)gêgampang kang wong, dene warta atimbalan, sajatinipun wikan, dadi tan arsa (ng)guguru, awirang yen ta takona.

Akan banyak manusia yang malah bingung, jika tidak mendapatan pemahaman itu dari seorang guru, akan banyak manusia yang menggampangkan, merasa telah mendapatkan kabar rahasia, merasa telah mendapatkan hal yang sejati, tiada berkehendak untuk mencari guru lagi, seolah enggan lagi untuk bertanya (kepada seorang guru).

20. Syeh Molana samya prapti, sakathahe Aji Cêmpa, pinarêg ing masjid gêdhe, mapan kantun wali sapta, samya (m)babar sosotya, tan prabeda kang rumuhun, Siti Jênar ingandikan.

Syeh Maulana (Maghribi)pun hadir, seluruh orang besar keturunan dari Champa (juga datang), datang ke masjid agung, ditambah dengan tujuh wali lainnya, semua kembali mewedarkan mutiara ilmu, tiada beda dengan pertemuan yang terdahulu, Siti Jênar kembali diperingatkan.

21. Syeh Molana mangkya angling, Siti Jênar nama tuwan, Siti Jênar mangkya ture, Inggih Allah jênêngamba, nora na Allah ika, anging Siti Jênar iku, sirna Jênar Allah ana.

Syeh Maulana (Maghribi) lantas berkata, Benarkah nama tuan Siti Jênar? Siti Jênar lantas menjawab, Allah namaku, tiada lagi Allah lain, yang mewujud dalam Siti Jênar, sirna Siti Jênar hanya Allah yang nyata.

22. Molana Maghribi angling, Kapir dadi Siti Jênar, Aji Cêmpa angling alon, Kapir danas Siti Jênar, Islamipun indalah, kapir danas wong puniku, punika kapir sampurna.

Maulana Maghribi berkata, Siti Jênar telah kafir, seluruh keturunan orang besar Champa berkata pelan, Siti Jênar telah kafir dalam pandangan manusia, tetapi entah di depan Allah, nyata telah kafir dalam pandangan manusia, dan orang seperti inilah patut disebut kafir.

23. Molana Mahribi angling, Suhunan (n)dawêg winêjang, masjid dalêm suwung kabeh, ana bêkti ana ora, têmah ngrusak agama, aggêgampang têmahipun, kang salah (n)dawêg pinêdhang.

Maulana Maghribi berkata, Wahai para Wali percuma kalian mengajar jika demikian, seluruh masjid kalian akan kosong, sedikit yang akan sembahyang di sana, agama akan rusak, semua orang akan menggampangkan, sepatutnya yang salah harus dihukum dengan pedang.

24. Syeh Siti Jênar mangkya ngling, (n)Dawêg sampun kalayatan, lawan swarga mênga kabeh, Siti Jênar sinêrampat, dening kaum sakawan, Syeh Lêmah Bang sampun kukum, pinêdhang tatas kang jangga.

Syeh Siti Jênar lantas menjawab, Sudah menjadi niatan saya, pintu surga telah terbuka lebar, Siti Jênar lantas diikat, oleh empat orang santri, Syeh Siti Jênar telah diputuskan untuk mendapat hukuman, dengan cara dipotong kepalanya.

25. Titiga sabate sami, apan sêdya pinêjahan, samya prawira Kukume, titiga samya anêdya, anêbut Subkhanallah, wontên rare angon wêdhus, sigra amiyarsa warta.

Tiga orang muridnya, berkehendak membela guru mereka, meminta dihukum dengan cara yang sama, ketiganya lantas, mengucapkan Subhanallah, tersebutlah ada seorang anak gembala (juga murid Siti Jênar), melihat kejadian itu

26. Siti Jênar wani mati, kasusra angaku Allah, punang rare angon age, lumayu asumbar-sumbar, amarêg mring ngayunan, Wonten Allah kari iku, katungkul ya angon menda.

Siti Jênar mendapat hukuman mati, karena berani mengaku Allah, anak gembala itu segera, berlari ke arah para Wali dengan sesumbar, mendekat tepat dihadapan, (Para Wali berkata) Masih ada Allah yang tertinggal, Allah yang menggembalakan kambing.

27. Prabu Satmata mangkya ngling, Rare iku kudu pêjah, kukumêna aja suwe, sandhingêna Siti Jênar, angling Ki Siti Jênar, Sandhingêna lawan ingsun, aywa adoh ingsun gawa.

Prabu Satmata lantas memerintahkan, Bunuh juga anak gembala itu, hukumlah jangan lama-lama lagi, tempatkan di sebelah Siti Jênar, menjawab Siti Jênar, Tempatkan di sisiku, akan aku bawa serta dia.

28. Ponang rare angling aris, Sampun (n)dika kalayatan, rare cilik sru tangise, Age tumuta pralaya, wus mênga lawang swarga, pinêdhang janggane sampun, mesêm rare angon menda.

Anak gembala berkata pelan, Janganlah tuan yang meninggal (cukup hamba saja), menangis sedihlah dia (melihat gurunya hendak dibunuh), (Siti Jênar berkata) Ikutlah mati bersamaku, sudah terbuka pintu surga, (maka semua yang hendak dihukum) lehernya telah dipedang, tersenyum anak gembala.

29. Jêng Suhunan Ratu Giri, nora kira Siti Jênar, maksih wutuh rêragane, tigang dina gilang-gilang, tumulya uluk salam, Kantuna andika ratu, Siti Jênar nulya ilang.

(Kang)jêng Suhunan Ratu Giri, tiada menyangka bahwasanya, jasad Siti Jênar masih utuh, selama tiga hari terlihat bercahaya, lantas terdengar ucapan salam, Selamat tinggal wahai paduka, (Jasad) Siti Jênar lantas hilang.

30. Tan kari sabatireki, sadaya wus samya ilang, miwah rare angon mangke, datan kantun melu ilang, sadaya sampun sirna, gawok sakeh kang andulu, dhumatêng Syeh Siti Jênar.

Begitu juga ketiga muridnya, semua jasadnya menghilang, tak ketinggalan jasad anak gembala, juga ikut musnah, semuanya sirna, keheranan semua yang melihat, kepada Syeh Siti Jênar (dan semua muridnya).

31. Tuturku kang wus kawijil, Syeh Lêmah Bang wus anyata, katon kandêl kumandêle, nanging pilih kang abisa, kadi Syeh Siti Jênar, akeh mandhêg aneng catur, pinêntog mundur plarasan.

Semua kisah yang sudah aku ceritakan, menunjukkan bahwasanya Syeh Lêmah Bang, sangat yakin dan mantap, akan tetapi jarang bisa ditemui, orang seperti Syeh Siti Jênar, kebanyakan hanya terhenti dimulut, jika mendapat ancaman akan mundur ketakutan.

Rabu, 29 Juni 2016

SULUK JEBENG SUNAN BONANG



SULUK JEBENG SUNAN BONANG

JEBENG 1

Betapapun besar rindu kepada Allah
sesungguhnya mustahil, anakku
menyusunnya dalam sebuah puisi
sekedar ingin menjadi orang mulia
dengan baris baris ini,anakku
ingin kukenali
Allah Maha Besar
Aku melithatNya ,anakku
lihatlah Aku
pasti Akupun melihatmu

JEBENG 2

Apabila ingin mengenal Allah
anakku,pandanglah dirimu baik baik
sebagai penggantiNya
namun jangan salah paham
jasmanimu itu mahluk
kalau dipandang mirip sama
namun dalam tauhid harus waspada
hal itu ibarat debu dengantanah,anakku
atau seperti dengung dengan suaranya

JEBENG 3

Bagai sebutir telur
yang bergelindingan, anakku
tak ada tepinya
sungguh membingungkan
akhirnya menjadi ayam
lengkap dengan bulunya
kalau diterangkan,anakku
hendaklah engkau berhatihati
sebab hal itu rumit
hendaklah diteliti
sebab hal itu sulit

JEBENG 4

Yang membingungkan dari dunia ini menurutku,anakku
ialah dalam memahaminya
rupa Tuhan
bagaimana sebenarnya rupa Tuhan?
dibanding manusia,
ibarat cempedak dengan nangka kelihatannya
seperti kembang kelak dan kembang kenanga
tapi haruslah waspada anakku
jangan menduga duga kalau belum mengerti

JEBENG 5

Antara nabi denganmu tiada beda
anakku,tapi kau harus waspada
diantara perbedaan dan persamaannya
ibarat senyum dengan tertawa
harus ditatap secara cermat
sukma dalam dirimu
amat halus terlihat
bukan ruh dengan jasad
anakku,bunga itu rupamu
Tuhan bau harumnya
tapi janganlah menduga duga kalau masih bingung

JEBENG 6

Sungguh nyata diri kita,anakku
berasal dari tiada
untuk kembali tak ada
banyak orang berguru
memuliakan ajaran ini
dengan pemahaman yang setengah setengah
demikian juga dalam menerimanya
bingung ada yang keluar dari tak ada
kembali tak ada
kebingungan itu di puja puja

JEBENG 7

Nak,jangan hanyut kiranya
ikut ikut mengatakan takada
padahal tak tau yang sebenarnya
hal demikian sudah biasa
bukan begitu kata ilmu sempurna
tak demikian yang dinyatakannya
ilmu itu susah diterangkan
dimatamu tumpang tindihkelihatannya
maka pahami secara seksama,nak
perbaiki sikapmu itu

JEBENG 8

Laksanakan shalat sehakikinya
hai anakku,shalat itu 3 tingkatannya
dengan keutamaannya serta
jadi yang dinamakan sembah puji
laksana air mengalir dari gunung
masuk ke dalam samudra
sembah seseorang
jangan berhenti di kolam sawah
itu mandek namanya
tak tercapai tujuannya

JEBENG 9

Dalam shalat hendaklah khusyuk tuntas
seperti mengaduk air dalam belanga
anakku,demikianlah
seperti ujung daun adanya
yang muncul dengan sendirinya
dari tiada menjadi ada
laksana tanah dengan air
laksana akar meneteskanair
dirimupun adalah manusia
yang menyongsong ajalnya

JEBEBG 10

Puncak ilmu yang sempurna
ibarat api yang berkobar
kenalilah bara dan nyalanya
ketahuilah cahayanya
pun asapnya
sebelum menyala
adapun setelah padam ia
diliputinya segala rahasia
jadi hendak bicara apa?

JEBENG 11

Kau jangan mempertuhankan diri
berlindunglah padaNya
didalam ruh jasad sesungguhnya
jangan ada yang dipersoalkan
jangan mengaku Tuhan
jangan mengira tak ada
lebih baik diam saja
ingat,anakku,jangan guncang
dalam kebingungan

JEBENG 12

Yang sempurna ibarat orang tidur
dengan wanita sampai bersenggama
keduanya terlena
tenggelam dalam cinta
anakku,terimalah dengan baik
dalam pemahamanmu
ilmu itu memang sukar
kebatinan dengan islam
sekalipun begitu ada lagi
paham itu kadang diikuti
adapun orang yang mengaku memilih
taukah yang di dalam hati?
anakku,ingatlah mati
melanggar larangan nitu salah
jiwa tertenggam di tengah Tuhan
dan selamanya bersama Tuhan
itu ibaratnya
dalang yang memainkan wayang
senantiasa memulai memainkan wayang
lantaran sebenarnya ia belum jadi dalang

JEBENG 14

Ada ajaran lebih utama
ada besi di tanam dalam tanah
pikirkan bagaimana tumbuhnya?
anakku,kalau minta dijelaskan
gaib itu ibarat air hanyut
tak diketahui asal usulnya
seperti menanam batu
seperti orang tidur
engkau ditanam oleh Tuhan
kalau tak tumbuh alangkah sayang

JEBENG 15

Kalau tumbuh,tumbuhlah kukuh
engkau orang pinggiran
tinggal didusun
namun aku melihatmu
tapi nsiapapun engkau
hendaklah tau yang dituju
karib disisi Tuhan
ibarat hujan ke tanah jua jatuhnya
ibarat ular menetaskan telurnya

JEBENG 16

Sukma,manusia,nabi,wali
ingat nak,pengetahuan itu
jangan oleh benda terkesima
kembalilah menyibukkan diri
menghadap Allah Ynag Belas Kasih
sampai akhirnya menemukan hikmah

JEBENG 17

Kalau kemari kupeluk erat engkau anakku
sebab Allah besertamu
kemamnapun engkau pergi
Allah mengerti,
hambanya yang sanggup menguasai diri
memegang badan
akhirnya menyatu denganTuhan
tapi bukan satu anakku

JEBENG 18

Nak,tataplah dirimu
maka tampak Aku di penglihatan itu
demikian yang benar
jangan pegang akupegang dirimu sendiri
maka lagi kutandaskan
jangan cari Aku
itu melanggar
kalau diri sendiri tak kau genggam
engkau dalam kesesatan

JEBENG 19

Diibaratkan lgi yang dalam kesesatan
anakku,yakni seperti orang yang memuja wayang
mana kebenaran?
hadirnya dalang
sebab diundang memainkan wayang
demikian keadaanya
tak ada yang terlihat
Allah lebih mulia
meski diri sendiri yang di pandang
seperti berkaca di paesan

JEBENG 20

Bayang bayang di amati secara seksama
anakku,hal itu tiada berbeda
disitu juga aku berada
badan akan jadi mulia
segala gerak jadi puja
tertawa jadi sembah
kalau bicara ditaburi anugerah
semua tingkah laku jadi puji
puji memuji sendiri

JEBENG 21

Anakku,taati nasehat ini
Allah yang dibicarakan
yang kufur,yang kafir,semuanya
dilihat olehNya
anakku,seperti merampas uang
itulah perampokan
banyak orang keliru
menandai banyaknya perampokan
yang kaya akhirnya ditipu
oleh yang merampas

JEBENG 22

Banyak orang kekal di neraka
anakku,hati hatilah
perhatikan adanya badan ini
badan tempat persemayaman raja
dan tempat menyimpan kekayaan
periksalah olehmu bahwa Aku berada disitu
apa kekurangan raja itu
orang pilihanlah yang tau pengawalnya
ditempat penyimpanan

JEBENG 23

Tak kentara ia sampai pada inti
tak meraba raba ilmunya
anakku,meskipun begitu ada perumpamaan
laksana semut yang berjalan
bekas kakinya tak ada yang tahu
ada atau tidaknya
karena teramat halusnya
ibarat orang menumbuk air
sudah halus ditumbuh dikunyah lagi
sampai giginya patah
Jebengpun yang kelihatan,anakku,coba perhatikan
karya yang sekedar tuk didendangkan
ikut ikut menyusun puisi
tanpa menginsafi kecanggungannya
memaksa diri tuk bercerita
jadi bingung akhirnya
dalam mengerjakannya
jadi mohon maaf segala yang disajikan
mohon maaf sebesar besar permaafan

Selasa, 28 Juni 2016

WEJANGAN RAHASIA HIDAYAT JATI




WEJANGAN RAHASIA HIDAYAH SEJATI)


Catatan ini saya buat untuk teman-teman yang membutuhkannya. Sekedar berbagi wejangan asli semata, mengenai penjabarannya, silakan teman-teman mencari Guru Spiritual yang mumpuni.

Ing ngisor iki nêrangake nalika jaman awale nagara ing Dêmak. Para Wali kang karsa mêdharake wêwêjanganing ngelmu makripat, kehe mung Wolu, pratelane kaya ing ngisor ini;
(Dibawah ini menjelaskan saat jaman awal Negara Demak. Para Wali yang berkenan mewedarkan wejangan ilmu Makrifat, hanya ada Delapan orang, mereka adalah sebagai berikut : )

1. Susuhunan ing Giri Kadhaton, mungguh kang diwêjangake, iya iku WISIKAN ANANING DZAT

(Susuhunan ing Giri Kadhaton/Sunan Giri Kedhaton atau Sunan Giri Pertama, mewedarkan wejangan BISIKAN RAHASIA ADANYA DZAT.)
 
2. Susuhunan ing Tandhês, mungguh kang diwêjangake, iya iku WĒDHARAN WAHANANING DZAT

(Susuhunan ing Tandhes/Sunan Tandhes, mewedarkan wejangan PENJABARAN PERWUJUDAN DZAT)
 
3. Susuhunan ing Majagung, mungguh kang diwêjangake, iya iku GĒLARAN KAHANANING DZAT

(Susuhunan ing Majagung/Sunan Majagung atau sekarang dikenal dengan Sunan Bejagung, mewedarkan wejangan PENGGELARAN KEBERADAAN DZAT)
 
4. Susuhunan ing Benang, mungguh kang diwêjangake, iya iku PAMBUKANING TAHTA MALIGE ING DALĒM BETALMAKMUR

(Susuhunan ing Benang/Sunan Benang sekarang dikenal dengan nama Sunan Bonang, mewedarkan wejangan AWAL MULA PENCIPTAAN TAHTA MAHLIGAI DIDALAM BAITUL MAKMUR ~ BAIT : RUMAH, MAKMUR : YANG RAMAI)
 
5. Susuhunan ing Muryapada, mungguh kang diwêjangake, iya iku PAMBUKANING TAHTA MALIGE ING DALĒM BETALMUKARAM

(Susuhunan ing Muryapada/Sunan Muryapada sekarang terkenal dengan nama Sunan Muria, mewedarkan wejangan AWAL MULA PENCIPTAAN TAHTA MAHLIGAI DIDALAM BAITUL MUHARRAM ~ BAIT : RUMAH, MUHARRAM : LARANGAN)
 
6. Susuhunan ing Kalinyamat, mungguh kang diwêjangake, iya iku PAMBUKANING TAHTA MALIGE ING DALEM BETALMUKADAS

(Susuhunan ing Kalinyamat/Sunan Kalinyamat mewedarkan wejangan AWAL MULA PENCIPTAAN TAHTA MAHLIGAI DIDALAM BAITUL MUKHADDAS ~ BAIT : RUMAH, MUKHADDAS : YANG BERSIH)
 
7. Susuhunan ing Gunungjati, mungguh kang diwêjangake, iya iku PANĒTĒP SANTOSANING IMAN

(Susuhunan ing Gunungjati/Sunan Gunungjati mewedarkan wejangan TETAPNYA DAN ABADINYA KEYAKINAN)
 
8. Susuhunan ing Kajênar, mungguh kang diwêjangake, iya iku SASAHIDAN

(Susuhunan ing Kajenar/Sunan Kajenar atau sekarang lebih dikenal dengan Syeh Siti Jenar mewedarkan wejangan KESAKSIAN SEJATI)

Dene saangkatan maneh, iya iku kang kapindho, nalika akhire nagara Dêmak, tumeka awale ing nagara Pajang, iya ana para Wali kang padha karsa mêdharake surasane ngelmu makripat, anane iya among Wolu, mungguh katrangane kaya ing ngisor iki :

(Sedangkan seangkatan lagi, yaitu untuk kedua kalinya, diwejangkan pada akhir negara Demak, menjelang awal berdirinya negara Pajang. Ada Delapan Wali yang berkenan mewejangkan intisari ilmu makripat, mereka-mereka adalah sebagai berikut :)

1. Susuhunan ing Giri Parapen, mungguh kang diwêjangake, iya iku WISIKAN ANANING DZAT

(Susuhunan ing Giri Parapen/Sunan Prapen atau Sunan Giri Keempat, mewedarkan wejangan BISIKAN RAHASIA ADANYA DZAT.)
 
2. Susuhunan ing Darajat, mungguh kang diwêjangake, iya iku WĒDHARAN WAHANANING DZAT

(Susuhunan ing Darajat/Sunan Darajat, sekarang lebih dikenal dengan Sunan Drajat, mewedarkan wejangan PENJABARAN PERWUJUDAN DZAT)
 
3. Susuhunan ing Atasangin, mungguh kang diwêjangake, iya iku GĒLARAN KAHANANING DZAT

(Susuhunan ing Atasangin/Sunan Atasangin, wali dari Jawa Barat, mewedarkan wejangan PENGGELARAN KEBERADAAN DZAT)
 
4. Susuhunan ing Kalijaga, mungguh kang diwêjangake, iya iku PAMBUKANING TAHTA MALIGE ING DALĒM BETALMAKMUR

(Susuhunan ing Kalijaga/Sunan Kalijaga, mewedarkan wejangan AWAL MULA PENCIPTAAN TAHTA MAHLIGAI DIDALAM BAITUL MAKMUR ~ BAIT : RUMAH, MAKMUR : YANG RAMAI)
 
5. Susuhunan ing Têmbayat, dhek samana wis rinilan dening guru Susuhunan ing Kalijaga, amiridake ing wêwêjangan PAMBUKANING TAHTA MAHLIGAI ING DALĒM BAITAL MUHARRAM

(Susuhunan ing Tembayat/Sunan Tembayat, setelah mendapat ijin dari gurunya Sunan Kalijaga, mewedarkan wejangan AWAL MULA PENCIPTAAN TAHTA MAHLIGAI DIDALAM BAITUL MUHARRAM ~ BAIT : RUMAH, MUHARRAM : LARANGAN)
 
6. Susuhunan ing Padusan, mungguh kang diwêjangake, iya iku PAMBUKANING TAHTA MALIGE ING DALEM BETALMUKADAS

(Susuhunan ing Padusan/Sunan Padusan, wali berasal dari Madura, mewedarkan wejangan AWAL MULA PENCIPTAAN TAHTA MAHLIGAI DIDALAM BAITUL MUKHADDAS ~ BAIT : RUMAH, MUKHADDAS : YANG BERSIH)
 
7. Susuhunan ing Kudus, mungguh kang diwêjangake, iya iku PANĒTĒP SANTOSANING IMAN

(Susuhunan ing Kudus/Sunan Kudus mewedarkan wejangan TETAPNYA DAN ABADINYA KEYAKINAN)
 
8. Susuhunan ing Gêsêng, mungguh kang diwêjangake, iya iku SASAHIDAN

(Susuhunan ing Geseng/Sunan Geseng mewedarkan wejangan KESAKSIAN SEJATI)

Dene wêwêjangan kang wis kasêbut ing dhuwur kabeh mau, saka surasane iya nunggal misah bae. Amarga padha wêwiridan saka wêwêjangane Kangjêng Susuhunan ing Ngampeldhênta. Sanadyan pangkat-pangkat panggonane, ananging isih tunggal sagolongan, têgêse mung minongka gêlaran babaran bae, supaya bisa tumangkar pakartine dhewe-dhewe, awit rêrimbagane kawruh kasampurnan iku, Manawa dhasar bisa nangkarake, pratandha wasis ing Budi.

(Semua wejangan yang sudah disebut diatas, sesungguhnya intinya sama. Sebab semua bersumber dari wejangan rahasia dari Kangjeng Susuhunan ing Ngampeldhenta/Sunan Ampel. Walaupun dijabarkan dalam berbagai tingkatan, sesungguhnya semua merupakan satu kesatuan utuh. Jelasnya sengaja dipisah-pisah hanya untuk sekedar mempermudah pemahaman saja. Agar yang mempelajari bisa mencari sendiri inti sari wejangan yang sudah dipecah-pecahkan ini. Sebab pengasah tajamnya Kesadaran saat mempelajari ilmu kesempurnaan, manakala bisa mencari inti sari wejangan, berarti sudah terasah tajam Kesadaran yang mempelajari.)

Sajatine ora ana apa-apa awit duk maksih awang-uwung durung ana sawiji-wiji, kang ana dhingin Ingsun, Ora ana Pangeran kajaba Ingsun. Sajatine Dat Kang Maha Suci anglimputi ing sipatIngsun, anartani ing asmanIngsun, amratandhani ing apngalIngsun.

(Sesungguhnya tidak ada apa-apa, sebab manakala masih kosong belumlah ada sesuatupun juga, yang ada dahulu itu AKU, Tidak ada Tuhan selain AKU. Sesungguhnya Dzat Yang Maha Suci meliputi sifat-sifat-Ku, menyertai nama-nama-Ku dan menandai af’al-af’al-Ku)
Sajatine Ingsun Dat Kang Amurba Amisesa kang kawasa anitahake sawiji-wiji, dadi padha sanalika, sampurna saka kodrat Ingsun, ing kono wus kanyatan pratandhaning apngalIngsun kang minangka bêbukaning iradatIngsun. Kang dhingin Ingsun anitahake Kayu aran Sajaratulyakin tumuwuh ing sajroning alam Ngadammakdum Ajali Abadi. Nuli Cahya aran Nur Muhammad, nuli Kaca aran Mirhatulkayai, nuli Nyawa aran Roh Ilapi, nuli Damar aran Kandil, nuli Sêsotya aran Darah, nuli Dhindhing Jalal aran Kijab. Iku kang minangka warananing KalaratIngsun.

(Sesungguhnya AKU adalah Dzat Yang Berkuasa dan Berwenang, yang mampu menciptakan segala sesuatu, tercipta dengan seketika, sempurna melalui Kodrat-Ku. Dalam segala penciptaan-Ku telah nyata tanda-tanda dari af’al-Ku yang merupakan pintu Iradat-Ku. Mula pertama AKU menciptakan Kayu (Hayyu) bernama Sajaratulyakin/Syajaratulyaqin (Syajarah : Pohon, Yaqin : Keyakinan) tumbuh didalam alam Ngadammakdum Ajali Abadi/Adam Ma’dum Azzali Abadi. Lantas Cahaya bernama Nur Muhammad (Nur : Cahaya, Muhammad : Terpuji), lantas Cermin bernama Miratulkayai/Mir’atul Haya’ (Mir’ah : Cermin, Haya’ : Malu), lantas Nyawa/Suksma bernama Roh Ilapi/Ruh Idhafi (Ruh yang menguatkan), lantas Pelita bernama Kandil, lantas Cahaya beraneka warna bernama Darah, lantas Dhindhing Jalal (Dhindhing : Tembok, Jalal : Agung) bernama Kijab/Hijab. Semua itu adalah penghalang bagi Kalarat-Ku.)

Sajatine manungsa iku rahsanIngsun lan Ingsun iku rahsaning manungsa, karana Ingsun anitahake Adam asal saka anasir patang prakara, Bumi, Gêni, Angin, Banyu. Iku kang dadi kawujudaning sipat Ingsun, ing kono Ingsun panjingi Mudah limang prakara, Nur, Rahsa, Roh, Napsu, Budi. Iya iku minangka warananing Wajah Ingsun Kang Maha Suci.

(Sesungguhnya manusia itu adalah Rahsa (Rasa Sejati/Inti Rasa)-Ku dan AKU ini adalah Rahsa manusia, sebab AKU menciptakan Adam berasal dari unsur empat macam, Bumi, Api, Angin dan Air. Itulah yang menjadi perwujudan sifat-Ku. Disana AKU liputi Mudah lima macam, Nur, Rahsa (Rasa Sejati), Roh, Nafs dan Budi (Kesadaran). Semua itu adalah penghalang Wajah-Ku Yang Maha Suci)
Sajatine Ingsun anata malige ana sajroning Betalmakmur, iku omah ênggoning parameyanIngsun. Jumênêng ana sirahing Adam. Kang ana sajroning Sirah iku Dimak, yaiku Utêk, kang ana antaraning Utêk iku manik, sajroning Manik iku Budi, sajroning Budi iku Napsu, sajroning Napsu iku Suksma, sajroning Suksma iku Rahsa, sajroning Rahsa iku Ingsun. Ora ana Pangeran anging Ingsn, Dat Kang Anglimputi ing kaanan jati.

(Sesungguhnya AKU menata mahligai didalam Betalmakmur/Bait Al-Ma’mur, disanalah rumah keramaian-Ku. Berada didalam Kepala Adam. Yang ada didalam Kepala adalah Dimak/Dimaq, yaitu Otak, yang ada diantara Otak adalah Manik, didalam Manik adalah Budi, didalam Budi adalah Nafs, didalam Nafs adalah Suksma, didalam Suksma adalah Rahsa, didalam Rahsa adalah AKU, tiada Tuhan kecuali AKU, Dzat Yang Menyelimuti kondisi kesejatian)

Sajatine Ingsun anata malige sajroning Betalmukarram, iku omah ênggoning lalaranganIngsun, jumênêng ana ing Dhadhaningg Adam. Kang ana sajroning Dhadha iku Ati, kang ana antaraning Ati iku Jantung, sajroning Jantung iku Budi, sajroning Budi iku Jinêm , yaiku Angen-angen, sajroning Angen-angen iku Suksma, sajroning Suksma iku Rahsa, sajroning Rahsa iku Ingsun. Ora ana Pangeran anging Ingsun. Dat Kang Anglimputi ing kaanan jati

(Sesungguhnya AKU menata mahligai didalam Betalmukaram/Bait Al-Muharram, disanalah rumah larangan-Ku, berada didalam Dada Adam. Yang ada didalam Dada adalah Hati, diantara Hati adalah Jantung, didalam Jantung adalah Budi, didalam Budi adalah Jinem, yaitu Angan-angan, didalam Angan-angan adalah Suksma, didalam Suksma adalah Rahsa, didalam Rahsa adalah AKU. Tidak ada Tuhan kecuali AKU, Dzat Yang Menyelimuti kondisi kesejatian)

Sajatine Ingsun anata malige ana sajroning Betalmukadas, iku omah ênggoning pasucenIngsun, jumênêng ana ing Kontholing Adam. Kang ana sajroning Konthol iku Pringsilan, kang ana ing antaraning Pringsilan iku Nutpah, yaiku Mani, sajroning Mani iku Madi, sajroning Madi iku Wadi, sajroning Wadi iku Manikêm, sajroning Manikêm iku Rahsa, sajroning Rahsa iku Ingsun. Ora ana Pangeran anging Ingsun Dat Kang Anglimputi ing kaanan jati. Jumênêng sajroning Nukat Gaib, tumurun dadi Johar awal, ing kono wahananing alam Akadiyat, Wahdat, Wakidiyat, alam Arwah, alam Misal, alam Ajsam, alam Insan kamil. Dadining manungsa sampurna yaiku sajatining sipatIngsun.

(Sesungguhnya AKU menata mahligai didalam Betalmukadas/Bait Al-Mukhaddas, disanalah rumah tempat pensucian-Ku, berada didalam Konthol/Penis Adam. Yang ada didalam Konthol adalah Pringsilan (Tes-Tis), yang ada diantara Pringsilan adalah Nutpah/Nutfah, yaitu Air Mani, didalam Air Mani adalah Madi/Madzi, didalam Madi adalah Wadi, didalam Wadi adalah Maningkem, didalam Maningkem adalah Rahsa, didalam Rahsa adalah AKU. Tidak ada Tuhan kecuali AKU. Dzat Yang Meliputi kondisi kesejatian. Berdiam didalam Nukat Gaib, turun menjadi Johar Awal/Jauhar Awwal, disana terkandung alam Akadiyat/Akhadiyah, Wahdat, Wakidiyat/Wakhidiyyah, alam Arwah, Alam Misal/Mitsal, alam Ajsam, alam Insan Kamil. Menjadi manusia sempurna yang merupakan perwujudan dari sifat-Ku.)

Ingsun anêkseni satuhune ora ana Pangeran anging Ingsun lan anêkseni Ingsun satuhune Muhammad iku utusan Ingsun
(AKU bersaksi sesungguhnya tidak ada Tuhan kecuali AKU dan aku bersaksi sesungguhnya Muhammad adalah utusan-Ku)

Ingsun anêkseni ing DatIngsun dhewe, satuhune ora ana Pangeran anging Ingsun, lan anêkseni Ingsun satuhune Muhammad iku utusanIngsun. Iya sajatine kang aran Allah iku badanIngsun, Rasul iku rahsaNingsun, Muhammad iku CahayaNingsun. Iya Ingsun Kang Urip tan kêna ing pati, iya Ingsun Kang Eling tan kêna ing lali, iya Ingsun Kang Langgêng ora kêna owah gingsir ing kaanan jati, iya Ingsun Kang Waskitha, ora kasamaran ing sawiji-wiji. Iya Ingsun Kang Amurba Amisesa, Kang Kawasa Wicaksana ora kekurangan ing pangêrti, byar sampurna padhang têrawangan, ora karasa apa-apa, ora ana katon apa-apa, amung Ingsun Kang Anglimputi ing alam kabeh kalawan kodratIngsun

(AKU bersaksi kepada Dzat-Ku sendiri, sesungguhnya tidak ada Tuhan kecuali AKU, dan AKU bersaksi sesungguhnya Muhammad itu utusan-Ku. Sesungguhnya yang disebut Allah itu adalah Badan-Ku, Rasul itu Rahsa-Ku, Muhammad itu Cahya-Ku. Diri-Ku lah yang Hidup Tanpa Pernah mati, Diri-Ku lah yang senantiasa Ingat Tanpa Pernah lupa. Diri-Ku lah yang Abadi tidak terkena perubahan apapun dalam kondisi sejati. Diri-Ku lah yang Awas, tidak khilaf akan sesuatupun. Diri-Ku lah yang Berkuasa dan Berwenang, Yang Kuasa dan Bijaksana tidak kekurangan pengetahuan sedikitpun. Byar sempurna terang benderang, tidak terasakan apapun lagi, tidak terlihat apapun lagi, Yang ada hanya AKU Yang Meliputi seluruh semesta dengan kodrat-Ku.)

Mula ing mêngko pinarsudi dening Kyai Agêng Muhammad Sirullah Ing Kêdhung Kol, mratandhani ing tahun iki ; RONG SOGATA WARGA SINUTA (Sinuta : 9, Warga : 7, Sogata : 7, Rong : 1 ~ 1779 Jawa). Kang iku aja kaliru ing panggalih, mungguh margane tinarima ngelmune iku, kudu nganggo ngêningêna ing kaênêngan, nyirnakake samubarang, nyipta Tajjaling Dzat Kang Maha Suci Sajati, mbirat napsu hawa kang ora kawadaka, kang wus kalakon tuhu katarima ngelmune, mula aja uwas sumelang ing ati, ora beda kahanan akhir karo kahanan saiki kang diarani swarga naraka iku, iya jaman saiki, têgêse : kang wis padha dilakoni. Surasaning wasita basa awit pangimpune Susuhunan ing Kalijaga, njupuk sarahing kitab Hidayatulkakaik, padha babon saka kitab Tassawuf kabeh.

(Selanjutnya dipelajari sungguh-sungguh oleh Kyai Ageng Muhammad Sirullah dari daerah Kedhung Kol, selesai mempelajari pada tahun RONG SOGATA WARGA SINUTA (Sinuta: 9, Warga: 7, Sogata : 7, Rong : 1, dibalik 1779 Jawa. Jika teliti maka selain menyiratkan angka tahun, kalimat Chandrasangkala RONG SOGATA WARGA SINUTA juga menyiratkan nama RONG soGAta WARga SInuTA alias Raden Ngabehi Ronggawarsita). Tapi bukan hanya cukup memahami semata, harus dengan sarana mengheningkan gejolak batin, menyingkirkan segala gejolak liar diri, hanya focus pada Tajjali Dzat Yang Maha Susi Sejati, menyingkirkan segala nafsu yang tidak sepatutnya. Yang sudah-sudah, telah tercapai meningkat Kesadarannya. Oleh karenanya pesanku, jangan ragu-ragu lagi, tiada beda keadaan jaman akhir dan jaman sekarang ini, yang dinamakan surga dan neraka itu, sesungguhnya sudah menyata dijaman sekarang ini, semua sudah kita jalani. Seluruh wejangan telah dihimpun oleh Susuhunan Ing Kalijaga/Sunan Kalijaga, mengambil intisari Kitab Hidayatul Haqoiq, sumber segala Kitab Tassawuf. )